Aku
menatap matanya sambil memegang
tangannya. Dengan alunan musik yang tenang berusaha ku hilangkan ketegangan ku.
Kuberanikan diri mengeluarkan kata-kata itu dari hati ku. “I love you!” ku
katakan. Kurasakan semuanya dingin, aku takut kalau dia marah, aku takut status
pertemanan yang selama ini terjalin hilang. Terlihat dari raut wajahnya
menunjukkan seseuatu yang akan keluar dari mulutnya. “I’ve waited this moment
for long. And you do it for me, dear. I love you too!” jawabnya. Mendengar itu
serasa beban hidupku terlupakan, jawaban yang mengerikan dari mulutnya ternyata
tidak keluar. Cinta yang kunanti-nanti kita sudah di depanku.
Semenjak
hari itu hubungan kami lebih erat dari prangko dan surat. Ibarat suami istri,
kemana-mana berdua. Aku sangat menysukuri mendapatkan seorang wanita seperti
dia. Bagaimana tidak, seorang wanita yang bukan hanya indah diluar namun indah
di dalam. Dan kalian bisa menebak bahwa aku mencintai dia karena hal itu.
Hari,
minggu, bulan, dan tahun berlanjut. Kini kami sudah memasuki 5 tahun hubungan
kami sebagai sepasang kekasih. Yang kata orang ini saatnya untuk melamar. Namun
rasa itu belum ada pada diriku. Tepat sekali hari ini adalah hari jadian kami
yang ke 5. Kali ini hal yang mainstream yang sudah bertahun-tahun ku lakukan
untuknya untuk sementara kutahan lebih dahulu. Sekalipun dia tak di kota ini
sekarang, rencana ini tetap akan kulakukan.
Dari
kota ku, kubela terbang jauh-jauh ke Papua. Ini bukan ditengah kota, melainkan
di sebuah distrik yang jauh dari pusat kota. Dia disana bukan bekerja sebagi
“mur” di Freeport atau tambang-tambang lainnya, dia bekerja untuk anak-anak
Papua yang listrik saja belum pernah mereka rasakan dan aku bangga dengan
keteguhan hatinya.
Keberangkatanku
sama sekali tidak diketahuinya. Hanya beberapa teman yang mengatrur rencana
disana mengetahuinya. Pukul 18.00 WIT aku tiba di tempatnya tanpa di ketahui
oleh pacarku. Ku lihat dia tidak seperti biasanya. Ia sangat murung dan seperti
orang yang baru kehilangan sesuatu. Apakah karena aku tak membalas sms dan
mengangkat teleponnya? Atau aku tidak mengucapkan Happy Anniversary kepadanya?
Aku hanya bisa tertawa.
Tepat
pukul 21.00 WIT, dia tetap termenung sendirian di meja makannya, sesuai rencana
pikirku. Di kegelapan malam dengan hanya sebuah lampu di tangan aku
menghampirinya. Seketika itu kehampaan dalam wajahnya sirna dan pelukan serta
pukulan manja mendarat di tubuhku. Seketika itu tepukan tangan serta teriakan
khas orang Papua terdengar menyambut kegembiraan kami. Tak disangka, mereka
juga telah membuat sebuah kayu berbentuk hati dan dibakar. It’s realy realy
romantic!
Wajah
yang menahan air mata masih jelas terlihat di wajahnya. Aku tahu dia tidak
menyangka akan kejutan ini. “Aku kira kamu lupa dengan anniv kita yang ke 5
ini” katanya, “Tahu gak, kalau sampai kamu gak datang, hmm.... gak tahu deh
gimana selanjutnya.” Mendengar celotehannya tersebut aku hanya bisa tersenyum
kecil. Kawan-kawan yang ada disana telah memasak masakan khas Papua dengan
sangat apik dan lezat tak kalah dengan restoran-restoran mewah dan romatis yang
ada di kotaku. Namun bedanya, di kotaku restoran dalam gedung, namun kini aku
dan dia dinner bareng di tengah hutan. Sesuatu yang kujanjikan bahwa ini tidak
akan mainstream.
Makan
malam kami kali ini bukan diiringi lagu jazz yang lembut atau dentingan piano
nan merdu. Paduan suara khas orang Papua yang memang kusuka terdengar sebagai
wujud bahagia mereka melihat dua orang pasangan sedang merayakan hari jadinya.
Ditengah indah dan romatisnya malam itu, ia bertanya, “Dear, May I ask you one
question?” aku pun menganggukkan kepala. “Aku tahu ini lebih dari apa yang
kuharapkan untuk hari jadi kita yang kelima.” katanya, “So, for what do you
love me?” Mendengar pertanyaan itu aku tertegun. Aku takut jawabannku akan merusak
suasana. Perasaan seperti pertama kali aku makan bersamanya terulang kembali.
“I love you..... for....” Jawabku. “Yeah..... for what honey?” tanyanya lembut.
“For nothing!” jawabku. Seketika itu dunia kembali terasa sunyi. Hanya suara
dari alam yang masuk ke telingaku. Ku lihat raut wajahnya mulai berubah. Air
mata yang awalnya aku kira sebagai tanda bahagia berubah menjadi tangisan. Ia
berdiri lalu berkata, “Hm... aku lelah, aku mau tidur.” Seketika itu dia pergi
dari hadapanku dan meninggalkan ku sendirian di meja makan.
Kuputuskan
malam itu pergi meninggalkan distrik tersebut tanpa ada seorang pun yang tahu.
Sebelum aku pergi, kusempatkan diriku menulis secarik surat untuknya.
“Dear honey, aku belum sempat ngucapin happy
anniversary yang ke 5 untuk kamu. Aku gak tahu apakah jawabanku membuat kamu
sedih di hari yang seharusnya kita berdua bahagia. Segudang pertanyaan itu
masih menganjal di hatiku. Aku mau mengunjungi sekarang, aku takut kamu
terganggu. Aku mau bertanya sebelum kamu pergi tadi, aku pikir itu bukan ide
yang baik. If my answer was wrong, I’m very sorry. Aku gak bermaksud nyakitin
hati kamu di hari yang baik ini. Swear, aku gak bermaksud melakukan itu! I’ll
prove it if you need. Aku harus balik dulu karena masih ada urusan lain. Have a
nice day Dear! Kalau kamu mau, jangan pikirkan aku untuk beberapa hari. Aku gak
mau kamu sakit di sini aku mau kamu tetap fokus bekerja untuk anak-anak di
sana.”
Ku
letakkan surat itu tepat di depan pintu rumah dimana dia tidur. Aku berharap
surat itu tidak hilang besok pagi.
Selama
perjalanan menuju kota, pertanyaan itu masih ada dalam pikiranku. Aku tak tahu
bahwa jawabanku itu akan membawa seperti ini. Aku bagaikan jalangkung. Datang
tak diundang dan pergi tak diantar. Aku yakin dia menangis disana. Aku yakin
dia benci aku sekarang. Yang kutakut datang kembali. Aku takut karena jawaban
itu ia terpikir, sakit, lalu kehilangan cita-citanya untuk membantu anak-anak
di Papua. Dan yang kutakutkan lagi, hubungan kami berakhir.
2
minggu semenjak kejadian itu berlalu. Semenjak saat itu, sms dan telepon dari
dia tidak pernah masuk ke HP ku. Aku mulai khawatir dengannya disana. Aku takut
dia kenapa-kenapa karena memikirkan jawaban itu. SMS dan teleponku juga tak
pernah dijawab. Kami juga pernah bertengkar sebelumnya namun tidak selama ini.
Aku sangat-sangat khawatir.
Tengah
malam HP ku berdering. Kulihat namanya di layar HP ku. Mataku yang tadinya
susah terbuka, kini langsung segar. Setelah kuangkat, ternyata bukan dia yang
berbicara melainkan seorang teman disana. “Jo, Cecil kecelakaan.” Katanya,
“Sekarang dia di rumah sakit kota. Tolong kabarin ke keluarganya disana ya.”
Mendengar kabar itu, aku segera beranjak ke mobil ku, memesan tiket pesawat
paling pagi ke Papua, mengambil beberapa pakaian Cecil ke rumahnya, lalu
berangkat ke bandara.
Selama
perjalanan aku kembali terpikir oleh jawabanku. Apakah dia kecelakaan karena
memikirkan aku dan jawaban ku? Kalau sampai karena itu dan aku tak pernah
bertemu dia lagi, aku takkan pernah memaafkan diriku selamanya. Sesampainya di
Papua, aku langsung menuju rumah sakit dimana Cecil di rawat. Kulihat beberapa
teman berada di depan kamarnya. “Bagaimana keadaannya?” tanyaku. “Masuklah!”
pinta dia. Kulihat seorang wanita dengan kaki diikat keatas dengan gips serta
wajah yang rusak. Aku lihat dia masih tertidur. Diagnosa ku, dia baik-baik
saja. Tanpa membuat suara, aku keluar dari kamar itu.
Malam
harinya aku kembali mendatangi kamarnya. Kulihat dia belum sadarkan diri.
Kubelai rambutnya tak terasa aku menitikkan air mata. Lantas aku berpikir jika
aku bisa menggantikan posisimu sekarang sayang, aku akan lakukan itu walaupun
kau marah padaku. Setelah itu aku kembali keluar.
Esok
pagi kabar gembira itu datang. Akhirnya dia siuman. Hingga pagi itu sebelum aku
masuk keruangannya, dia sama sekali belum mengetahui bahwa aku datang. Kulihat
wajahnya murung dan menahan kesakitan. Aku mendekat. Dia melihatku dan kami
saling tatapan. Sekali lagi, dunia seperti membisu. “Gimana cantik? Enak
boboknya?” aku pun bertanya. Dia berusaha bangun untuk menjawab dan aku
menahannya agar tidak banyak bergerak. “Kamu bilang aku cantik?” mulai
menitikkan air mata, “jika memang iya aku cantik, buktikan!” “Listen to me!”
jawabku “I told you that I love you for nothing. Do you still remember it?” Dia
pun mengangguk kecil, “lalu hubungannya?” “Look, jika aku jawab hari itu kalau
aku cinta kamu karena kamu cantik atau karena kamu punya kepribadian yang baik,
am I still loving you know? Do I still care of you know? I think no and never.
I love you coz nothing! Artinya adalah apapun yang terjadi pada kamu, sekalipun
kamu pergi jauh ataupun kamu tak pernah kembali, I’m still loving you, aku
selalu mencintaimu tak peduli apakah kamu cantik atau buruk apakah kamu kaya
atau miskin. Coz my love for you is for nothing not for something. Aku
mencintaimu atas ketidakadaan bukan suatu keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan komentar anda :D