Cerita
ini dimulai pada tanggal 11 Juli 2011 dari kelas VII-1 SMP Putri Cahaya Medan.
Setelah lulus UN SD, aku sebenarnya niat masuk sekolah yang katanya “rival
terbesar” Putri Cahaya. Namun Tuhan berkata lain, ya aku dimasukkan ke SMP yang
dikenal orang sebagai SMP terbaik di kota Medan. Perhatian ku akhirnya beralih
ke Putri Cahaya karena Tuhan kasih hadiah yang gak pernah aku bayangin
sebelumnya. Entah gimana aku bisa dapat juara 1 test masuk SMP Putri Cahaya.
Bergerak dari situ aku putuskan untuk masuk ke SMP Putri Cahaya.
Pertama
kali masuk sekolah ini, rasanya aneh. Iya... betul-betul aneh! Kok aneh?
Pertama dari lapangan. Waktu lihat lapangan sekolahnya, seolah-olah lihat
samudra Pasifik, luasss.... kalii... tapi setelah beberapa bulan di sekolah
itu, jangan kan samudra Pasifik, untuk main jongkok kring aja kurang luas. Udah
gitu teman-temannya. Kok aneh? Jelas lah aneh. Masa orang-orang aneh dikumpulin
jadi satu kelas? Apa gak makin aneh? Tapi itulah cerita diawal sekali.
Selanjutnya,
ada yang katanya MOS. Ini dia acara yang paling gak ku suka. Dengar namanya aja
udah kayak dengar kalau besok mau kiamat. But untunglah MOS nya hanya
penyuluhan tentang lingkungan di aula YSA. (Tapi entah kenapa setelah angkatan
kami MOS di aula yayasan, angkatan selanjutnya gak diizinkan lagi MOS disitu
:p).
Bersyukur
masuk di kelas VII-1 of Putri Cahaya Junior High School. Awalnya aku gak tahu
sama sekali tentang kelas unggulan di Putri Cahaya, namun setelah Sr. Yulita,
KSSY (Wali kelas-red) ngasih tahu ke kami kalau kelas VII-1 itu kelas unggulan
dari kelas VII lainnya. Entah apanya yang unggul aku pun tak tahu (itulah
retorika yang sering dilontarkan guru pada kami).
Pertama
kali ketemu sama orang-orang aneh tapi kocak ini sedikit menjengkelkan. Adalah
yang masih hari pertama sekolah udah menunjukkan eksitensinya sebagai orang
heboh. Adalah yang sebenarnya heboh tapi sok diam kayak nahan berak. Adalah
yang sebenarnya nakal tapi sok baik. Dan adalah-adalah lainnya. Ya bisa lah
dimaklumi, soalnya kan baru-baru masuk. Kan gak lucu baru masuk langsung ribut
kayak udah kenal lama.
Hari
pertama, aku masih kenal kawan satu SD ku aja. Baru, beberapa menit kemudian
kenal beberapa orang lalu ketawa mendengar nama seseorang yang aneh di telinga ku
dan telinga kawanku. Pasalnya nama dia itu kayak nama suporter sepak bola asal
Medan. Hari selanjutnya mental ku betul-betul dilatih sama guru yang selalu
pakai baju olahraga, Pak Sitanggang. Dengan gaya anak muda masuk ke kelas,
nanya apa kami udah kenal satu kelas, nanya ukuran baju, dan nanya sama kawanku
siapa nama “abang yang duduk di belakang?” dan itu aku. Sialnya, kawanku yang
cewek tadi tahu namaku dan aku gak tahu nama dia. Sebenarnya malu sih enggak,
tapi ada rasa bangga dikitlah ya kalau aku dikenal secepat itu sama orang lain
yang notabenenya aku gak kenal dia. Selanjutnya bapak ini nanya ukuran baju
kami untuk baju olahraga. Ketika nama kami dipanggil satu per satu, kami
menyebutkan ukuran baju kami. Ada yang bilang M, L, dan ketika ada yang bilang
XL satu orang yang entah darimana asal usulnya nyeletuk ketawa. Dan entah
kenapa yang lain juga ikut ketawa dengar “XL”. Aku gak habis pikir gimana mental
kawanku sebelah yang ukuran bajunya nyampe XXL? Apa gak mati malu dia nahan
ketawa dari orang ini? Sejak saat itu aku sikit gondok lihat anak itu. Soalnya
waktu aku ngomong, tanpa rasa bersalah dia ngejek aku yang sama sekali gak
pernah bermasalah dengan dia. Untunglah dia cewek, sempat lah tadi cowok, aku
pun gak berani.
Hari-hari
selanjutnya diisi dengan guru-guru yang terbilang “meriah” juga. Yang paling
berkesan itu sama Pak AC (A. Chandra Nainggolan) guru matematika yang katanya
umurnya aja dia gak tahu berapa. Orangnya tinggi kayak kompeni-kompeni zaman
penjajahan. Kalau masuk ke kelas, pasti dengan wajah habis bergadang nonton
Real Madrid entah lawan siapa. Bapak ini terkenal dengan slogan-slogan anehnya
yang seorang profesor aja belum tentu mampu membuatnya. Teringat ketika ia masuk
ke kelas, pasti tujuan awalnya adalah barisan belakang. Di belakang yang
notabenenya cowok semua, bapak ini sering cerita dan nanya tentang bola yang
main tadi malam. Sampe-sampe dia menerapkan sistem kartu merah dan kartu kuning
di lapangan kedalam kelas. Setahuku satupun belum pernah dapat kartu merah, dan
sampai sekarang hukuman bagi yang dapat kartu merah masih menjadi misteri.
Guru
selanjutnya yang dikatakan guru paling killer di Putri Cahaya masuk, Bu
Manurung, guru fisika. Aku berpikir, “Kayak manalah pelajaran fisika ini?”
Ternyata eh ternyata, setelah dipelajari dan diselami, ibu ini guru yang asik
juga. Pelajarannya juga engak rumit serumit matematika. Bagi beberapa orang
yang memang malas dan gak mau belajar, ya ibu ini kejam, tapi kalau rajin,
yakin lah ibu ini baik kayak malaikat.
Aku
masih ingat ketika pertama kali kami mencari lab bahasa. Pertama kami naik
tangga dekat kamar mandi perempuan, naik ke lantai dua SMA Cahaya, mau nanya
orang biar gak kesesat di sekolah sendiri, eh ternyata tukang becak pun gak
ada. Mau nanya sama tukang kede dimana lab bahasa, agak gengsi, mau nanya sama
Acek, eh dianya belum datang. Hingga akhirnya entah kayak mana kami bisa dapat itu
lab bahasa yang ternyata di lantai 3 SMP Putri Cahaya. Di depan lab bahasa Sir
Sianturi lagi bersender ke pagar nunggu kedatangan kami sambil nanya, “Kok lama
kali kalian?” dengan polos kami jawab, “kami gak tahu dimana ruangannya pak.”
Okelah sir itu maklumi kami dan ajak kami masuk ke “markas” beliau dan kasih
tahu peraturan di “markas”nya. Satu hal yang pasti, “markas” beliau wajib jadi
tempat yang super cozy walau Acnya setengah panas dan lampunya “main mata”.
Episode
I sampai disini dulu | Udah kayak sinetron aja :p. Soalnya udah ngantuk
kali......... byeee :p (Bersambung ke Dua Mangkok Cerita dari Putri Cahaya) ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan komentar anda :D