Sabtu, 30 Agustus 2014

Semangkok Cerita dari Putri Cahaya

Cerita ini dimulai pada tanggal 11 Juli 2011 dari kelas VII-1 SMP Putri Cahaya Medan. Setelah lulus UN SD, aku sebenarnya niat masuk sekolah yang katanya “rival terbesar” Putri Cahaya. Namun Tuhan berkata lain, ya aku dimasukkan ke SMP yang dikenal orang sebagai SMP terbaik di kota Medan. Perhatian ku akhirnya beralih ke Putri Cahaya karena Tuhan kasih hadiah yang gak pernah aku bayangin sebelumnya. Entah gimana aku bisa dapat juara 1 test masuk SMP Putri Cahaya. Bergerak dari situ aku putuskan untuk masuk ke SMP Putri Cahaya.
Pertama kali masuk sekolah ini, rasanya aneh. Iya... betul-betul aneh! Kok aneh? Pertama dari lapangan. Waktu lihat lapangan sekolahnya, seolah-olah lihat samudra Pasifik, luasss.... kalii... tapi setelah beberapa bulan di sekolah itu, jangan kan samudra Pasifik, untuk main jongkok kring aja kurang luas. Udah gitu teman-temannya. Kok aneh? Jelas lah aneh. Masa orang-orang aneh dikumpulin jadi satu kelas? Apa gak makin aneh? Tapi itulah cerita diawal sekali.
Selanjutnya, ada yang katanya MOS. Ini dia acara yang paling gak ku suka. Dengar namanya aja udah kayak dengar kalau besok mau kiamat. But untunglah MOS nya hanya penyuluhan tentang lingkungan di aula YSA. (Tapi entah kenapa setelah angkatan kami MOS di aula yayasan, angkatan selanjutnya gak diizinkan lagi MOS disitu :p).
Bersyukur masuk di kelas VII-1 of Putri Cahaya Junior High School. Awalnya aku gak tahu sama sekali tentang kelas unggulan di Putri Cahaya, namun setelah Sr. Yulita, KSSY (Wali kelas-red) ngasih tahu ke kami kalau kelas VII-1 itu kelas unggulan dari kelas VII lainnya. Entah apanya yang unggul aku pun tak tahu (itulah retorika yang sering dilontarkan guru pada kami).
Pertama kali ketemu sama orang-orang aneh tapi kocak ini sedikit menjengkelkan. Adalah yang masih hari pertama sekolah udah menunjukkan eksitensinya sebagai orang heboh. Adalah yang sebenarnya heboh tapi sok diam kayak nahan berak. Adalah yang sebenarnya nakal tapi sok baik. Dan adalah-adalah lainnya. Ya bisa lah dimaklumi, soalnya kan baru-baru masuk. Kan gak lucu baru masuk langsung ribut kayak udah kenal lama.
Hari pertama, aku masih kenal kawan satu SD ku aja. Baru, beberapa menit kemudian kenal beberapa orang lalu ketawa mendengar nama seseorang yang aneh di telinga ku dan telinga kawanku. Pasalnya nama dia itu kayak nama suporter sepak bola asal Medan. Hari selanjutnya mental ku betul-betul dilatih sama guru yang selalu pakai baju olahraga, Pak Sitanggang. Dengan gaya anak muda masuk ke kelas, nanya apa kami udah kenal satu kelas, nanya ukuran baju, dan nanya sama kawanku siapa nama “abang yang duduk di belakang?” dan itu aku. Sialnya, kawanku yang cewek tadi tahu namaku dan aku gak tahu nama dia. Sebenarnya malu sih enggak, tapi ada rasa bangga dikitlah ya kalau aku dikenal secepat itu sama orang lain yang notabenenya aku gak kenal dia. Selanjutnya bapak ini nanya ukuran baju kami untuk baju olahraga. Ketika nama kami dipanggil satu per satu, kami menyebutkan ukuran baju kami. Ada yang bilang M, L, dan ketika ada yang bilang XL satu orang yang entah darimana asal usulnya nyeletuk ketawa. Dan entah kenapa yang lain juga ikut ketawa dengar “XL”. Aku gak habis pikir gimana mental kawanku sebelah yang ukuran bajunya nyampe XXL? Apa gak mati malu dia nahan ketawa dari orang ini? Sejak saat itu aku sikit gondok lihat anak itu. Soalnya waktu aku ngomong, tanpa rasa bersalah dia ngejek aku yang sama sekali gak pernah bermasalah dengan dia. Untunglah dia cewek, sempat lah tadi cowok, aku pun gak berani.
Hari-hari selanjutnya diisi dengan guru-guru yang terbilang “meriah” juga. Yang paling berkesan itu sama Pak AC (A. Chandra Nainggolan) guru matematika yang katanya umurnya aja dia gak tahu berapa. Orangnya tinggi kayak kompeni-kompeni zaman penjajahan. Kalau masuk ke kelas, pasti dengan wajah habis bergadang nonton Real Madrid entah lawan siapa. Bapak ini terkenal dengan slogan-slogan anehnya yang seorang profesor aja belum tentu mampu membuatnya. Teringat ketika ia masuk ke kelas, pasti tujuan awalnya adalah barisan belakang. Di belakang yang notabenenya cowok semua, bapak ini sering cerita dan nanya tentang bola yang main tadi malam. Sampe-sampe dia menerapkan sistem kartu merah dan kartu kuning di lapangan kedalam kelas. Setahuku satupun belum pernah dapat kartu merah, dan sampai sekarang hukuman bagi yang dapat kartu merah masih menjadi misteri.
Guru selanjutnya yang dikatakan guru paling killer di Putri Cahaya masuk, Bu Manurung, guru fisika. Aku berpikir, “Kayak manalah pelajaran fisika ini?” Ternyata eh ternyata, setelah dipelajari dan diselami, ibu ini guru yang asik juga. Pelajarannya juga engak rumit serumit matematika. Bagi beberapa orang yang memang malas dan gak mau belajar, ya ibu ini kejam, tapi kalau rajin, yakin lah ibu ini baik kayak malaikat.
Aku masih ingat ketika pertama kali kami mencari lab bahasa. Pertama kami naik tangga dekat kamar mandi perempuan, naik ke lantai dua SMA Cahaya, mau nanya orang biar gak kesesat di sekolah sendiri, eh ternyata tukang becak pun gak ada. Mau nanya sama tukang kede dimana lab bahasa, agak gengsi, mau nanya sama Acek, eh dianya belum datang. Hingga akhirnya entah kayak mana kami bisa dapat itu lab bahasa yang ternyata di lantai 3 SMP Putri Cahaya. Di depan lab bahasa Sir Sianturi lagi bersender ke pagar nunggu kedatangan kami sambil nanya, “Kok lama kali kalian?” dengan polos kami jawab, “kami gak tahu dimana ruangannya pak.” Okelah sir itu maklumi kami dan ajak kami masuk ke “markas” beliau dan kasih tahu peraturan di “markas”nya. Satu hal yang pasti, “markas” beliau wajib jadi tempat yang super cozy walau Acnya setengah panas dan lampunya “main mata”.



Episode I sampai disini dulu | Udah kayak sinetron aja :p. Soalnya udah ngantuk kali......... byeee :p (Bersambung ke Dua Mangkok Cerita dari Putri Cahaya) ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan komentar anda :D