Ini adalah kisahku yang kukumpulkan dari buku catatanku selama aku dan keempat kawanku menjadi anggota Divisi 5 Gerakan Bawah Tanah. Aku dan keempat sahabatku lahir ditahun yang sama yaitu tahun 1896 ketika agresi Belanda mendesak aku dan keempat sahabatku memisahkan diri dengan orang tua kami. Aku mulai sadar kalau kehadiran manusia kulit putih ini bagaikan duri dalam daging. Semenjak itu kami berlima selalu membuat masalah dengan Belanda. Entah kami mencuri dari mereka atau meledakkan gubuk mereka. Beruntung kami tak pernah tertangkap. Mungkin kalau tertangkap, cerita ini tak kan pernah ada.
Pernah suatu ketika aku
dan keempat sahabatku menjalankan misi kecil-kecilan untuk mencuri dari gudang
senjata Belanda yang terkenal ketat. Walau seketat apapun mereka menjaga, kami
lebih cekatan ketimbang mereka. Misi kecil ini aku tak tahu diberi oleh siapa
saat itu, tapi yang pastinya beliau pernah bekerja sama dengan kami di masa
depan. Akhirnya kami menyusun strategi untuk mencuri sekotak 5 pucuk senjata
dan 2 dus amunisi. Kami menjalankan misi ini bukan seperti kebanyakan orang
pada malam hari. Karena kami tahu percis bahwa penjagaan akan lebih ketat pada
malam hari ketimbang siang hari. Si Umang salah satu sahabatku yang jago mengeksekusi
strategi kami memulai duluan pergerakan ini. Kebetulan sekali sedang jam makan
siang, maka Umang menyamar menjadi seorang anak remaja penjaja kue basah menuju
markas Belanda di daerah ku. Menjajakan makanan, mendapat uang, dan dalam
hitungan kelima, 7 tentara Belanda jatuh pingsan. Dengan cepat 2 orang
sahabatku lainnya berlari ke arah Umang dan membantu mengikat lalu
menyembunyikan ke 7 tentara itu. “Mang, kalau mereka bangun cemana?” tanya
Zainal. “1Ko tenang saja Nal, dosisnya sudah tepat. Mereka pasti
bangun nanti menjelang malam dan pasti lupa dengan apa yang terjadi.” Perjelas
Umang.
Sementara aku dan
sahabatku satu lagi segera berlari ke arah gudang senjata. Dengan keahlian ku
membuka segala gembok dan pintu tanpa kunci, tak perlu waktu lama akhjrnya
pintu itu terbuka. Segera 3 orang sahabatku yang lainnya membantu membawa apa
yang diminta beliau. Tak lupa aku kembali mengunci pintu tersebut dan 3 orang
sahabatku lainnya membuka ikatan tersebut dan meletakkan ke 7 tentara itu tepat
di depan pintu gudang. “Pasti mereka kena marah sama komandannya”, pikir ku
sambil tertawa kecil dalam hati. Segera mungkin kami berlari keluar dari zona
misi membawa hasil sempurna ke beliau yang meminta pesanannya.
“Terimakasih nak! Kerja
kalian bersih sekali. Pasti kalian jadi pejuang hebat kelak.” Puji beliau.
“Semoga pak!” jawab ku.
“Kalau begitu, ini
untuk kalian.” Kata beliau sembari memberi kami masing-masing 1 keping emas.
“Pasti ini dari Belanda
kan pak.” Sahut Umang.
“Kau cerdas nak! Ini
yang mereka rampas dari bumi kita. Maka, ini bukan barang curian, ini barang
nenek moyang kita. Emas ini harus kembali ke tangan bangsa ini. Pergunakanlah
dengan baik.” Jawab beliau sembari pergi bersama beberapa orang membawa senjata
dan amunisi tersebut.
Setelah misi itu, kami
pulang ke rumah masing-masing. Di rumah, mamak ku menunggu dengan cemas walau
hari masih sore dan aku sudah pamit sebelumnya. “Dari mana aja kau nak?” tanya
mamakku. “Biasa mak.” Jawab ku. “Biasa apa nya?! Jangan bilang kau nyuri dari
itu orang Belanda!” bentak mamak. “I... ya mak!” jawab ku sambil tertunduk. “Kan
udah kubilang sama mu jangan kau buat masalah dengan mereka. Gak peduli mereka
kau itu anak kecil atau bukan. Di tembaknya kau, selesai semua.” Mamak ku
kelihatan khawatir. “Kan yang penting gak ketahuan mak.” Balas ku. “Gak
ketahuan kau bilang! Tadi beberapa tentara Belanda lewat dari sini. Biar kau
tahu, gak pernah sejarahnya mereka lewat dari sini. Muka mereka seolah-olah
nyari sesuatu.” Jawab mamakku. “Serius lah mak!” pintahku ragu. “Sudahlah...
mungkin para Belanda itu belum menemukan dimana rumah kalian. Ketimbang kalian
mati dibuat mereka. Pergilah kalian dari kampung ini. Ajak keempat sahabatmu!
Mamak juga udah diskusi dengan orang tua mereka.” Perintah mamakku. “Jadi mamak
kek mana?” tanya ku lagi. “Belanda itu belum tahu kalau aku mamakmu dan gitu
juga dengan yang lainnya, jadi kami masih aman sekarang.” Jawab mamakku.
“Terus, kami mau pergi kemana?” tanya ku. “Naik kalian ke bukit diarah utara,
sebelum kalian sampai di tengah bukit itu, ada rumah 2kila mu.
Disitulah kalian sementara tunggu kondisi aman.” Perjelas mamak ku. Menjelang
malam hari, kembali aku dan keempat sahabatku berkumpul dan pergi ke tempat
yang di perintahkan mamakku. Perjalanan ke tempat itu dibutuhkan waktu 2 hari 1
malam. Dan malam ini kami menginap di markas rahasia kami di hutan yang
jaraknya 3 jam perjalanan dari kawasan kampung kami.
Mentari sudah
menyingsing, kini sinar bulan dan gemerlap bintang yang menerangi markas rahasi
kami. Sembari was-was sekalipun itu hanya suara siulan angin, kami makan
bersama. Walau cuaca dingin menusuk tulang-tulang muda kami, tapi kami tetap
hangat. Terbesit di pikiran Umang untuk menyusun taktik tiba-tiba kalau kami
ketahuan. Dengan serius dia menjelaskan apa taktik selanjutnya. Karena malam
sudah larut, satu persatu kami tertidur lelap tanpa ada yang menjaga. Sebab
kami tahu hanya kami dan Tuhanlah yang tahu tempat ini.
Keesokan harinya
sebelum fajar menjadi cahaya kami, kami sudah berangkat menuju tempat yang diminta.
Taktis yang diberitahu Umang langsung kami jalankan. Dengan 2 orang sebagai
pengamat di depan, 1 orang masing-masing di kiri dan kanan, dan satu orang di
belakang. Perjalanan kami berlanjut kira-kira sudah 3 jam kami berjalan, kami
istirahat untuk sarapan. Ketika kami istirahat, terdengar suara orang melangkah
dari balik semak-semak, seketika itu kami menghentikan makan lalu bersiaga. “Sssttt...
tunggu aba-abaku.” Perintah Umang. Makin lama langkah kaki itu mendekat dan
semakin mendekat. “satu....... dua......,” Umang memberi aba-aba, “Ti...
tahan!! Tahan!!” Dengan suara tertahan Umang membatalkan aba-abanya. Dan
ternyata yang lewat adalah 2 orang petani. Seketika itu kami menghela nafas.
Zainal yang sudah siap dengan parangnya, akhirnya kembali menyarungkan parang
tersebut. “Sudah... sudah... ayo lanjutkan makannya.” Kata ku.
Selesai makan tak lupa
kami menjadikan tempat istirahat kami tadi kembali seperti semula, tanpa bekas
makanan dan tanpa bekas pijakan kaki. Kemudian kami melanjutkan perjalanan
hingga matahari tepat diatas kepala kami. Saat matahari mulai menusuk hangat ke
kulit kami, kami memutuskan istirahat sembari makan buah-buahan yang kami
dapatkan di sepanjang perjalanan kami. Cukup menyegarkan dan membuat kami
bersemangat untu jalan kembali. Kalau kami cepat, besok siang kami sudah sampai
di tempat yang dituju. Perjalanan pun kami lanjutkan hingga sang fajar
menyingsing kami menghentikan perjalanan hari ini dan membuat tempat
beristirahat. Donal yang cukup tahu jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan
penangkal nyamuk memberikannya kepada kami. “Yakinlah 3kelen kalau
tak ada tumbuhan ini, habis kelen digigitin nyamuk.” Kata Donal.
“Wadoohhh!!!” Jeritan
Zainal seketika memecah kesunyian hutan dan membangunkan kami. “Ko kenapa Nal?”
tanya Umang panik. “Babi! Ada yang gigit kaki ku!” umpat Zainal. Seketika itu
Husin mengeluarkan parangnya dan langsung menancapkan ke tanah. “Kau kenapa
Sin?” tanya ku. “Ko tengoklah itu!” jawab Husin sambil menunjuk kearah tanah. “4Nande!
5Nipai 6nak we...” kata ku. Ternyata yang menggigit kaki
Zainal adalah ular pohon yang tak beracun. Kemudian Donal yang tadi ketika
mengambil daun anti nyamuk melihat daun yang berguna mencegah pembekakan dan
infeksi oleh gigitan hewan membawakan daun itu kepada Zainal dan mengkompresnya
tepat di luka bekas gigitan. “Nal, kemungkinan besok pagi sakitnya sudah
hilang, tapi kau gak boleh jalan capek dulu. Jadi aku sarankan besok kita
jalannya gak kayak tadi pagi. Ada istirahatnya setiap beberapa jam sekali.
Setuju kan?” pinta Donal. “Ya... kami setuju.” Jawab ku. (bersambung)
1Pengucapan dari kata kau
2Sebutan untuk suami dari saudara
perempuan ayah kita
3Pengucapan dari kata kalian
4Artinya mamak, ibu
5Artinya ular
6Pengucapan singkat untuk anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan komentar anda :D