Minggu, 09 Agustus 2015

Divisi 5 Gerakan Bawah Tanah Bagian III


Dengan terpaksa kami menyerah tanpa perlawanan kepada mereka. “Tangkap mata-mata Belanda itu!” perintah salah satu dari mereka. “Kami bukan mata-mata Belanda! Kami anak sini!” teriak Zainal. “Ssst.... sudah Nal, gak guna kau berteriak kayak gitu, gak bakalan percaya mereka.” Nasehat Umang. Akhirnya Zainal diam. Tak selang beberapa lama kami menemukan semacam perkumpulan para geriliyawan lengkap dengan senjata-senjata rebutan dari Belanda. “Woi.... selamat kalian?” teriak salah seorang di kamp tersebut. “Eh.... itu si Husin!” teriak Zainal. “Eh... kok ditangkap kelen?” tanya Donal. “Entah ini ditangkap tanpa alasan kami. Katanya pula kami mata-mata Belanda.” Perjelas Zainal. “Lepaskan mereka bang, mereka kawan kami yang ku ceritakan tadi dijalan. Mereka salah satu yang mengalahkan Belanda.” Perjelas Donal kepada geriliyawan lainnya. Setelah dijelaskan, kami pun dibebaskan dan dipertemukan dengan pemimpin geriliyawan tersebut, Kolonel Frans Rakut. Kolonel Frans Rakut sangat bangga dan bahagia ketika mengetahui ada remaja bangsa yang mau bertempur melawan Belanda secara langsung. Kolonel tersebut juga memberikan kepada kami tempat yang layak dan juga pangkat sebagai penghargaan bagi kami. Kami mendapat pangkat Letnan Dua.

“Eh... Sin, dari tadi belum ada kelen kasih tahu kek mana kalian bisa lolos dari Belanda.” Tanya ku. “Oh iya ya... gini ceritanya.” Husin sambil merapikan tempat duduknya, “Pas kami nyampai di markas bawah, aku sama Donal ngak langsung turun karena mobilnya dimasukkan ke dalam garasi dulu sebelum logistik mereka diturunkan. Langsung lah kami bergerak. Pertama kami selamatkan dulu makanan sama beberapa senjata yang bisa dibawa lalu kami sebar bahan peledaknya. Asap hitam yang kalian lihat tadi itulah ledakan dari truk logistik.” “Terus? Kayak gitu aja?” tanya Zainal tidak sabaran, “Kek mana kelen bisa ke sini dengan cepat?” “Sabarlah kau, ini belum selesai cerita ku.” Balas Husin, “Udah kayak gitu meledaklah peledak yang kami sebarkan di markas bawah lalu keluar panggilan dari markas bawah ke markas atas makanya datang sekitar 6 mobil tentara Belanda ke tempat itu. Ketika mereka sampai, mereka lupa bawa kunci mobilnya langsunglah kami larikan ke arah tempat pertemuan kita. Rupanya ketemu sama geriliyawan disini, langsung kami ceritakan dan kami diajak ke sini. Udah gitu kita ketemu. Tamat” “Oh... jadi kek gitu toh...” kata ku, “Syukurlah kalian selamat semua. Ku kira tadi gak selamat kelen, rupanya kelen yang nyelamatkan kami dari geriliyawan yang salah kaprah ini.” Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya kami pergi tidur.
Malam itu terdengar suara berisik dari semak-semak ketika aku mau kencing. Aku berusaha memfokuskan mata ku dan terlihat seperti pakaian tentara Belanda. Yakin ada yang gak beres aku pun kembali ke kamp dan membangunkan keempat sahabatku agar bersiap-siap dengan penyerangan ini. Sekalian juga mereka ku perintahkan untuk membangunkan geriliyawan lainnya. Tak berselang lama terletuslah suara tembakan dari pihak kami. Belanda pun mulai menembaki kami dari 4 sisi. Kami terkepung! Tembak-tembakan tak bisa dihindarkan. Satu-satu cara bisa lolos adalah mati. Namun Umang yang ahli strategi gak kehabisan akal. Dia menyelinap ke belakang pohon yang cukup tinggi namun tertutup oleh gelapnya malam. Ia naik ke pohon itu sambil membawa beberapa bom tangan. Dari atas pohon tersebut dapat terlihat 4 sisi tersebut berikut para tentara Belanda. Umang pun melempar bom tangan tersebut ke arah 4 sisi tersebut secara bertubi-tubi hingga pihak Belanda banyak yang cedera dan mundur pulang. Setelah tak ada lagi Belanda yang memegang senjata, seluruh geriliyawan dikumpulkan oleh Kolonel Frans Rakut.
“Nampaknya ada pengkhianat disini!” bentaknya.
“Interupsi kolonel! Asumsi saya mereka berlima lah yang telah membawa Belanda-Belanda itu ke sini.” Kata salah seseorang dari geriliyawan tersebut sambil menunjuk kami.
“Sumpah kolonel, kami gak ada sedikit pun pernah bersetongkol apalagi berbicara dengan Belanda-Belanda itu.” Balas Zainal.
“Sudah diam! Asumsi dia bisa diterima. Karena kalian masih baru jadi kami belum 100% percaya kepada kalian. Maka, kalian silakan pergi dari kamp ini detik ini juga!” bentak Kolonel Frans Rakut.
“Tapi kolonel.....” kata ku
“Ini perintah, laksanakan!” kata Kolonel Frans dengan keras.
Terpaksa malam itu kami pergi dari kamp geriliyawan ke arah kami datang tadi. Terlihat wajah-wajah tak senang dari keempat sahabatku. “Entah siapa yang berani berkhianat dengan kita?” tanya Husin kesal. “Sudahlah Sin, tak guna juga kita berasumsi ini itu. Yang jelas bukan kita penyebabnya. Kami yakin ketika kami ke sini gak ada yang ngikutin kami. Kalian juga gitu kan?” tanya ku. Mereka berdua pun mengangguk. “Jadi siapa?” tanya Donal. “Waktu pasti menjawab. Kita istirahat aja dulu disini.” Ajak Umang. Sekitar 20 menit kami sudah berhenti dan bersiap-siap untuk tidur terdengar suara berisik dari arah balik semak-semak. Zainal trauma dengan kejadian ular maka ia segera menyiapkan parangnya.
“Tunggu! Jangan serang saya!.” Kata suara itu
“Kolonel Frans!” kata Zainal, “Mau apa anda disini?”
“Maafkan kedatangan tiba-tiba saya.” Kata Kolonel Frans, “Dan maafkan saya juga telah membentak kalian tadi.”
“Sudahlah kolonel, apa mau anda?” tanya ku.
“Begini, saya yakin bukan kalianlah penyebab penyerangan tadi.” Jawab Kolonel Frans.
“Kalau kolonel yakin bukan kami yang melakukan hal itu, terus kenapa koolonel ngebentak dan mengusir kami dari kamp geriliyawan?” tanya Husin kesal.
“Tenang dulu Sin, biarkan kolonel menjelaskannya dulu.” Perintah Umang, “Silakan lanjutkan kolonel!”
“Terimakasih sudah memberi saya waktu.” Balas Kolonel Frans, “Jadi begini, salah satu orang yang pernah bertemu dengan kalian telah berkhianat. Saya yakin itu!”
“Siapa kolonel?” tanya ku.
“Kilandu!” jawab Kolonel Frans.
“Ah! Gak mungkin!” jawab ku, “Ngapain pula dia berkhianat sama kami? Jangan asal menuduh lah kolonel!”
“Sabar Do! Kita dengarkan dulu penjelasan kolonel selanjutnya.” Bujuk Umang, “Silakan kolonel!”
“Kenapa asumsi saya mengarah kepada kila kalian, karena menurut cerita yang kalian ceritakan, hanya dialah yang kalian temui selama beberapa hari ini. Betul kan?” perjelas kolonel.
Kami pun menganggukkan kepala tanda setuju. “Saya yakin, tak ada satupun pengkhianat di dalam pasukan saya.” Lanjut kolonel, “Apalagi tidak ada yang berhubungan dengan Belanda atau orang lain selama ini. Kalau pun ada yang berhubungan, mereka berhubungan hanya kepada rakyat biasa.”
“Lalu apa yang anda mau kolonel?” tanya ku kesal.
“Kalian cari tahu dan bawa siapa pengkhianat itu ke sini dan kalian pasti diterima kembali oleh pasukan yang lainnya.” Perintah kolonel.
“Tapi sebelumnya kolonel.” Sanggah Zainal, “Ini bukan misi penyerahan atau misi bunuh diri kan? Atau jangan-jangan anda ingin menyerahkan kami ke Belanda dengan cara licik ini?”
“Ini bisa jadi misi bunuh diri.” Jawab kolonel, “Tapi ini murni bukan misi penyerahan diri kalian ke Belanda. Kalian bergerak langsung di bawah perintah saya. Asal kalian tahu, tak ada yang tahu kalau saya ke sini dan memerintahkan kalian. Oh.... iya, kalian tidak akan pergi dengan tangan kosong, bawa perlengkapan senjata ini, pergunakanlah dengan bijaksana. Saya pergi dulu!”
Kolonel langsung pergi dibalik kegelapan malam. Dengan penerangan yang seadanya, Zainal mengecek apa-apa saja yang ada di dalam kotak persenjataan tersebut. Ada 5 pucuk senjata api, bahan peledak, amunisi yang cukup, dan 2 radio komunikasi. Malam itu kami habiskan untuk beristirahat dan menyusun strategi untuk misi kami selanjutnya.

(bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan komentar anda :D