Dengan terpaksa kami menyerah tanpa perlawanan kepada mereka. “Tangkap mata-mata Belanda itu!” perintah salah satu dari mereka. “Kami bukan mata-mata Belanda! Kami anak sini!” teriak Zainal. “Ssst.... sudah Nal, gak guna kau berteriak kayak gitu, gak bakalan percaya mereka.” Nasehat Umang. Akhirnya Zainal diam. Tak selang beberapa lama kami menemukan semacam perkumpulan para geriliyawan lengkap dengan senjata-senjata rebutan dari Belanda. “Woi.... selamat kalian?” teriak salah seorang di kamp tersebut. “Eh.... itu si Husin!” teriak Zainal. “Eh... kok ditangkap kelen?” tanya Donal. “Entah ini ditangkap tanpa alasan kami. Katanya pula kami mata-mata Belanda.” Perjelas Zainal. “Lepaskan mereka bang, mereka kawan kami yang ku ceritakan tadi dijalan. Mereka salah satu yang mengalahkan Belanda.” Perjelas Donal kepada geriliyawan lainnya. Setelah dijelaskan, kami pun dibebaskan dan dipertemukan dengan pemimpin geriliyawan tersebut, Kolonel Frans Rakut. Kolonel Frans Rakut sangat bangga dan bahagia ketika mengetahui ada remaja bangsa yang mau bertempur melawan Belanda secara langsung. Kolonel tersebut juga memberikan kepada kami tempat yang layak dan juga pangkat sebagai penghargaan bagi kami. Kami mendapat pangkat Letnan Dua.
“Eh... Sin, dari tadi
belum ada kelen kasih tahu kek mana kalian bisa lolos dari Belanda.” Tanya ku.
“Oh iya ya... gini ceritanya.” Husin sambil merapikan tempat duduknya, “Pas
kami nyampai di markas bawah, aku sama Donal ngak langsung turun karena
mobilnya dimasukkan ke dalam garasi dulu sebelum logistik mereka diturunkan.
Langsung lah kami bergerak. Pertama kami selamatkan dulu makanan sama beberapa
senjata yang bisa dibawa lalu kami sebar bahan peledaknya. Asap hitam yang
kalian lihat tadi itulah ledakan dari truk logistik.” “Terus? Kayak gitu aja?”
tanya Zainal tidak sabaran, “Kek mana kelen bisa ke sini dengan cepat?”
“Sabarlah kau, ini belum selesai cerita ku.” Balas Husin, “Udah kayak gitu
meledaklah peledak yang kami sebarkan di markas bawah lalu keluar panggilan
dari markas bawah ke markas atas makanya datang sekitar 6 mobil tentara Belanda
ke tempat itu. Ketika mereka sampai, mereka lupa bawa kunci mobilnya
langsunglah kami larikan ke arah tempat pertemuan kita. Rupanya ketemu sama
geriliyawan disini, langsung kami ceritakan dan kami diajak ke sini. Udah gitu
kita ketemu. Tamat” “Oh... jadi kek gitu toh...” kata ku, “Syukurlah kalian
selamat semua. Ku kira tadi gak selamat kelen, rupanya kelen yang nyelamatkan
kami dari geriliyawan yang salah kaprah ini.” Setelah bercerita panjang lebar,
akhirnya kami pergi tidur.
Malam itu terdengar
suara berisik dari semak-semak ketika aku mau kencing. Aku berusaha memfokuskan
mata ku dan terlihat seperti pakaian tentara Belanda. Yakin ada yang gak beres
aku pun kembali ke kamp dan membangunkan keempat sahabatku agar bersiap-siap
dengan penyerangan ini. Sekalian juga mereka ku perintahkan untuk membangunkan
geriliyawan lainnya. Tak berselang lama terletuslah suara tembakan dari pihak
kami. Belanda pun mulai menembaki kami dari 4 sisi. Kami terkepung! Tembak-tembakan
tak bisa dihindarkan. Satu-satu cara bisa lolos adalah mati. Namun Umang yang
ahli strategi gak kehabisan akal. Dia menyelinap ke belakang pohon yang cukup
tinggi namun tertutup oleh gelapnya malam. Ia naik ke pohon itu sambil membawa
beberapa bom tangan. Dari atas pohon tersebut dapat terlihat 4 sisi tersebut
berikut para tentara Belanda. Umang pun melempar bom tangan tersebut ke arah 4
sisi tersebut secara bertubi-tubi hingga pihak Belanda banyak yang cedera dan
mundur pulang. Setelah tak ada lagi Belanda yang memegang senjata, seluruh
geriliyawan dikumpulkan oleh Kolonel Frans Rakut.
“Nampaknya ada
pengkhianat disini!” bentaknya.
“Interupsi kolonel!
Asumsi saya mereka berlima lah yang telah membawa Belanda-Belanda itu ke sini.”
Kata salah seseorang dari geriliyawan tersebut sambil menunjuk kami.
“Sumpah kolonel, kami
gak ada sedikit pun pernah bersetongkol apalagi berbicara dengan
Belanda-Belanda itu.” Balas Zainal.
“Sudah diam! Asumsi dia
bisa diterima. Karena kalian masih baru jadi kami belum 100% percaya kepada
kalian. Maka, kalian silakan pergi dari kamp ini detik ini juga!” bentak
Kolonel Frans Rakut.
“Tapi kolonel.....”
kata ku
“Ini perintah,
laksanakan!” kata Kolonel Frans dengan keras.
Terpaksa malam itu kami
pergi dari kamp geriliyawan ke arah kami datang tadi. Terlihat wajah-wajah tak
senang dari keempat sahabatku. “Entah siapa yang berani berkhianat dengan kita?”
tanya Husin kesal. “Sudahlah Sin, tak guna juga kita berasumsi ini itu. Yang jelas
bukan kita penyebabnya. Kami yakin ketika kami ke sini gak ada yang ngikutin
kami. Kalian juga gitu kan?” tanya ku. Mereka berdua pun mengangguk. “Jadi
siapa?” tanya Donal. “Waktu pasti menjawab. Kita istirahat aja dulu disini.” Ajak
Umang. Sekitar 20 menit kami sudah berhenti dan bersiap-siap untuk tidur
terdengar suara berisik dari arah balik semak-semak. Zainal trauma dengan
kejadian ular maka ia segera menyiapkan parangnya.
“Tunggu! Jangan serang
saya!.” Kata suara itu
“Kolonel Frans!” kata
Zainal, “Mau apa anda disini?”
“Maafkan kedatangan
tiba-tiba saya.” Kata Kolonel Frans, “Dan maafkan saya juga telah membentak
kalian tadi.”
“Sudahlah kolonel, apa
mau anda?” tanya ku.
“Begini, saya yakin
bukan kalianlah penyebab penyerangan tadi.” Jawab Kolonel Frans.
“Kalau kolonel yakin
bukan kami yang melakukan hal itu, terus kenapa koolonel ngebentak dan mengusir
kami dari kamp geriliyawan?” tanya Husin kesal.
“Tenang dulu Sin,
biarkan kolonel menjelaskannya dulu.” Perintah Umang, “Silakan lanjutkan
kolonel!”
“Terimakasih sudah
memberi saya waktu.” Balas Kolonel Frans, “Jadi begini, salah satu orang yang
pernah bertemu dengan kalian telah berkhianat. Saya yakin itu!”
“Siapa kolonel?” tanya
ku.
“Kilandu!” jawab Kolonel Frans.
“Ah! Gak mungkin!”
jawab ku, “Ngapain pula dia berkhianat sama kami? Jangan asal menuduh lah
kolonel!”
“Sabar Do! Kita
dengarkan dulu penjelasan kolonel selanjutnya.” Bujuk Umang, “Silakan kolonel!”
“Kenapa asumsi saya
mengarah kepada kila kalian, karena menurut cerita yang kalian ceritakan, hanya
dialah yang kalian temui selama beberapa hari ini. Betul kan?” perjelas
kolonel.
Kami pun menganggukkan
kepala tanda setuju. “Saya yakin, tak ada satupun pengkhianat di dalam pasukan
saya.” Lanjut kolonel, “Apalagi tidak ada yang berhubungan dengan Belanda atau
orang lain selama ini. Kalau pun ada yang berhubungan, mereka berhubungan hanya
kepada rakyat biasa.”
“Lalu apa yang anda mau
kolonel?” tanya ku kesal.
“Kalian cari tahu dan
bawa siapa pengkhianat itu ke sini dan kalian pasti diterima kembali oleh
pasukan yang lainnya.” Perintah kolonel.
“Tapi sebelumnya
kolonel.” Sanggah Zainal, “Ini bukan misi penyerahan atau misi bunuh diri kan? Atau
jangan-jangan anda ingin menyerahkan kami ke Belanda dengan cara licik ini?”
“Ini bisa jadi misi
bunuh diri.” Jawab kolonel, “Tapi ini murni bukan misi penyerahan diri kalian
ke Belanda. Kalian bergerak langsung di bawah perintah saya. Asal kalian tahu,
tak ada yang tahu kalau saya ke sini dan memerintahkan kalian. Oh.... iya,
kalian tidak akan pergi dengan tangan kosong, bawa perlengkapan senjata ini,
pergunakanlah dengan bijaksana. Saya pergi dulu!”
Kolonel langsung pergi
dibalik kegelapan malam. Dengan penerangan yang seadanya, Zainal mengecek
apa-apa saja yang ada di dalam kotak persenjataan tersebut. Ada 5 pucuk senjata
api, bahan peledak, amunisi yang cukup, dan 2 radio komunikasi. Malam itu kami
habiskan untuk beristirahat dan menyusun strategi untuk misi kami selanjutnya.
(bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan komentar anda :D