Sebulan yang lalu aku
baru saja masuk ke SMA favorit di kota ku. SMA ini cukup bergengsi dengan
segudang prestasi dan juga fasilitas yang bisa dibilang lebih dari sebuah
sekolah. Di sekolah ku setiap siswa baru diwajibkan memilih satu ekskul dan
wajib mengikuti ekskul itu selama setahun. Akhirnya aku memilih ekskul
Paskibraka. Alasan ku memilih ekskul ini karena dulu ketika SMP aku sempat ikut
paskibra pada acara-acara besar sekolah. Karena ekskul ini salah satu yang
terpopuler disekolah, masuk ke ekskul ini jadi lebih kompetitif walau aku yakin
gak mungkin gak diterima. Setelah proses pendaftaran dan lain-lain, akhirnya
tibalah malam pengukuhan khusus ekskul ini saja di sekolah. Ya... namanya juga
malam pengukuhan, pastinya bakalan nginap di sekolah. Aku bersama teman
sekelasku ikut pengukuhan ini. Selama di kelas sering aku terpikirkan apa yang
akan dilakukan senior-senior ku ketika malam pengukuhan nanti. Apakah
mengerikan atau seperti apa? “Eh... lagi mikirin apa kau?” tanya teman ku.
“Mikirin malam pengukuhan nanti.” Jawabku. “Hah... sama.” Balasnya, “Kau udah
tahu cerita gak?” “Cerita apa?” tanyaku penasaran. “Ah... nanti kau gak
percaya.” Jawab temanku. “Udahlah, cerita aja dulu kau. Masalah percaya atau
gak, urusan belakangan lah itu.” Kata ku. “Gini lo.” Jawab dia, “Tepat malam
pengukuhan dan malamnya pengukuhan ekskul kita ini, ada suatu tragedi.” Kata
temanku dan diam sementara. “Tragedi apa?” tanyaku penasaran. “Tragedi
penyiksaan senior kepada juniornya.” Jawabnya dengan pelan. “Ah... serius kau?
Terus?” tanyaku semakin penasaran. “Juniornya meninggal. Jenazahnya ditemukan
tepat di lantai 3.” Jawab temanku. Mendengar ceritanya, seketika itu naik bulu
kuduk ku. Setelah mendengar cerita singkat dia, aku gak bertanya apa-apa lagi
dan kawanku pun tadi langsung pergi.
Tibalah malam yang ku
khawatirkan itu. Kami dikumpulkan sebelum matahari terbenam, mandi, makan, dan
segera bersiap-siap. Diawali dengan pembagian kelompok, setiap kelompok
beranggotakan 5 orang dengan satu pemimpin. Setelah itu kami dipimpin untuk
masuk ke acara pertama yaitu tes mental. Namun tes mental ini menguji
kekompakan kami setim. Kami harus masuk ke gedung sekolah yang gelap dengan 1
senter yang dipegang leader dan mencari nama-nama teman setim lalu keluar dan
melaporkannya kembali ke senior kami. Kami mendapati giliran pertama. Ketika
menaiki tangga menuju lantai 2, leader kami memutuskan untuk membagi 2 tim. 1
tim beranggotakan 3 orang dan tim lain sisanya. Aku bersama seorang temanku.
Karena pencahayaan hanya mengandalkan sinar dari luar gedung, terpaksa kami
harus berpegangangan agar tak terpisah. Perjalanan terus kami 2 lakukan namun
ada yang aneh dengan teman ku. Kurasakan pergerakannya melambat dengan jalan
diseret. Aku bertanya namun dia diam saja. Aku tak pedulikan itu. Akhirnya aku
menemukan nama ku sendiri. Ketika aku hendak menyimpan kertas yang berisi nama
ku, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku dengan keras dan berkata, “Dari
mana aja kau?” “Kan nyari nama-nama tadi. Ini aku lagi sama....(menoleh ke arah
belakang)” jawabku. “Lagi sama siapa kau? Gak kau lihat ini kalau kami
berempat?” kata leaderku. Seketika aku terdiam dan aku merinding hebat. “Jadi,
yang tadi aku pegang pundaknya siapa?” pikirku ketakutan dalam hati.
Setelah nama-nama kami
berhasil dikumpulkan, tim kami segera menuju lapangan dimana senior sudah
menunggu. Walau gedung sekolah gelap, lebih gelap lagi lapangan. Kami harus
berjalan dengan berpengangan pundak dan pencahayaan senter. “Karena kalian
sudah sampai disini,” kata senior kami, “Berhitung, mulai!” Kami pun mulai
berhitung. Aku berada di barisan nomor 5 alias yang terakhir. Ketika aku
selesai berhitung, secara tiba-tiba dari sebelah kananku ada yang berhitung,
“Enam!” Seketika suasana menjadi sepi. “Hei leader,” tanya senior, “Ada berapa
jumlah kalian semua?” “Lima kak.” Jawabnya. “Jadi kenapa sampai 6 hitungannya?”
tanya senior kembali. Kami pun diam dalam bingung. Aku tak tahu siapa yang ada
di sebelah kananku. Aku mencoba menyetuh tangannya, namun terasa dingin, sangat
dingin. Lalu senior ku memerintahkan untuk hitung ulang. Ketika sampai ke aku,
hitungan bukannya berhenti malah masuk kembali ke enam. Aku memberanikan diri
menoleh ke kanan, ketika aku lihat ke kanan, kulihat seorang dengan kepala
berdarah, wajah rusak, dan muka pucat berdiri tepat di sebelah kananku.
Seketika itu aku jatuh pingsan. Ketika aku bangun, aku sadari hari sudah pagi
dan aku masih berada di lantai 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan komentar anda :D