Selasa, 03 November 2015

Malam Pengukuhan

Sebulan yang lalu aku baru saja masuk ke SMA favorit di kota ku. SMA ini cukup bergengsi dengan segudang prestasi dan juga fasilitas yang bisa dibilang lebih dari sebuah sekolah. Di sekolah ku setiap siswa baru diwajibkan memilih satu ekskul dan wajib mengikuti ekskul itu selama setahun. Akhirnya aku memilih ekskul Paskibraka. Alasan ku memilih ekskul ini karena dulu ketika SMP aku sempat ikut paskibra pada acara-acara besar sekolah. Karena ekskul ini salah satu yang terpopuler disekolah, masuk ke ekskul ini jadi lebih kompetitif walau aku yakin gak mungkin gak diterima. Setelah proses pendaftaran dan lain-lain, akhirnya tibalah malam pengukuhan khusus ekskul ini saja di sekolah. Ya... namanya juga malam pengukuhan, pastinya bakalan nginap di sekolah. Aku bersama teman sekelasku ikut pengukuhan ini. Selama di kelas sering aku terpikirkan apa yang akan dilakukan senior-senior ku ketika malam pengukuhan nanti. Apakah mengerikan atau seperti apa? “Eh... lagi mikirin apa kau?” tanya teman ku. “Mikirin malam pengukuhan nanti.” Jawabku. “Hah... sama.” Balasnya, “Kau udah tahu cerita gak?” “Cerita apa?” tanyaku penasaran. “Ah... nanti kau gak percaya.” Jawab temanku. “Udahlah, cerita aja dulu kau. Masalah percaya atau gak, urusan belakangan lah itu.” Kata ku. “Gini lo.” Jawab dia, “Tepat malam pengukuhan dan malamnya pengukuhan ekskul kita ini, ada suatu tragedi.” Kata temanku dan diam sementara. “Tragedi apa?” tanyaku penasaran. “Tragedi penyiksaan senior kepada juniornya.” Jawabnya dengan pelan. “Ah... serius kau? Terus?” tanyaku semakin penasaran. “Juniornya meninggal. Jenazahnya ditemukan tepat di lantai 3.” Jawab temanku. Mendengar ceritanya, seketika itu naik bulu kuduk ku. Setelah mendengar cerita singkat dia, aku gak bertanya apa-apa lagi dan kawanku pun tadi langsung pergi.
Tibalah malam yang ku khawatirkan itu. Kami dikumpulkan sebelum matahari terbenam, mandi, makan, dan segera bersiap-siap. Diawali dengan pembagian kelompok, setiap kelompok beranggotakan 5 orang dengan satu pemimpin. Setelah itu kami dipimpin untuk masuk ke acara pertama yaitu tes mental. Namun tes mental ini menguji kekompakan kami setim. Kami harus masuk ke gedung sekolah yang gelap dengan 1 senter yang dipegang leader dan mencari nama-nama teman setim lalu keluar dan melaporkannya kembali ke senior kami. Kami mendapati giliran pertama. Ketika menaiki tangga menuju lantai 2, leader kami memutuskan untuk membagi 2 tim. 1 tim beranggotakan 3 orang dan tim lain sisanya. Aku bersama seorang temanku. Karena pencahayaan hanya mengandalkan sinar dari luar gedung, terpaksa kami harus berpegangangan agar tak terpisah. Perjalanan terus kami 2 lakukan namun ada yang aneh dengan teman ku. Kurasakan pergerakannya melambat dengan jalan diseret. Aku bertanya namun dia diam saja. Aku tak pedulikan itu. Akhirnya aku menemukan nama ku sendiri. Ketika aku hendak menyimpan kertas yang berisi nama ku, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku dengan keras dan berkata, “Dari mana aja kau?” “Kan nyari nama-nama tadi. Ini aku lagi sama....(menoleh ke arah belakang)” jawabku. “Lagi sama siapa kau? Gak kau lihat ini kalau kami berempat?” kata leaderku. Seketika aku terdiam dan aku merinding hebat. “Jadi, yang tadi aku pegang pundaknya siapa?” pikirku ketakutan dalam hati.

Setelah nama-nama kami berhasil dikumpulkan, tim kami segera menuju lapangan dimana senior sudah menunggu. Walau gedung sekolah gelap, lebih gelap lagi lapangan. Kami harus berjalan dengan berpengangan pundak dan pencahayaan senter. “Karena kalian sudah sampai disini,” kata senior kami, “Berhitung, mulai!” Kami pun mulai berhitung. Aku berada di barisan nomor 5 alias yang terakhir. Ketika aku selesai berhitung, secara tiba-tiba dari sebelah kananku ada yang berhitung, “Enam!” Seketika suasana menjadi sepi. “Hei leader,” tanya senior, “Ada berapa jumlah kalian semua?” “Lima kak.” Jawabnya. “Jadi kenapa sampai 6 hitungannya?” tanya senior kembali. Kami pun diam dalam bingung. Aku tak tahu siapa yang ada di sebelah kananku. Aku mencoba menyetuh tangannya, namun terasa dingin, sangat dingin. Lalu senior ku memerintahkan untuk hitung ulang. Ketika sampai ke aku, hitungan bukannya berhenti malah masuk kembali ke enam. Aku memberanikan diri menoleh ke kanan, ketika aku lihat ke kanan, kulihat seorang dengan kepala berdarah, wajah rusak, dan muka pucat berdiri tepat di sebelah kananku. Seketika itu aku jatuh pingsan. Ketika aku bangun, aku sadari hari sudah pagi dan aku masih berada di lantai 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan komentar anda :D