Rabu, 30 Desember 2015

Divisi 5 Gerakan Bawah Tanah Bagian V


*5 menit sebelum penangkapan
“Mang, kok lama kali orang itu?” Tanya Donal.
“Sabarlah sebentar. Bawaan mereka banyak.” Jawab Umang.
Umang dan Donal menanti dengan rasa was-was dibalik semak-semak.
“Cobalah kau hubungi mereka. Gak enak perasaanku sekarang.” Pinta Donal.
“Tak perlu! Nanti mereka bisa ketahuan.” Balas Umang.
“Beep…. Beep…. Beep…” terdengar suara dari radio.
“Anjing! Mereka ketahuan.” Kata Donal.
“Sialan!” kata Umang, “Kita cari tempat tinggi, terus kita pantau kemana mereka dibawa.”
Umang dan Donal bergerak naik ke bukit guna mencari tempat yang tepat untuk memantau.
“Mang, kau tengok itu! Mereka dibawa ke markas komando.” Kata Donal.
“Oke, kita gak mungkin ngebantu mereka sekarang.” Kata Umang, “Yang kita punya cuma 2 pucuk senjata, beberapa amunisi, dan 1 radio komunikasi. Sementara bahan peledak ada di mereka.”
“Jadi rencana mu apa?” Tanya Donal.
“Kita minta bantuan ke Kolonel Frans.” Jawab Umang.
“Gila kau Mang!” kata Donal, “Aku gak mau dituduh apa-apa lagi sama mereka.”
“Kau tenang dulu dan ikut aku!” Perintah Umang.
Donal pun mengikuti Umang naik ke bukit menuju markas Kolonel Frans Rakut. Perjalanan dari tempat mereka tadi ke markas Kolonel Frans membutuhkan waktu 5 jam.
“Tak lama lagi kita sampai di markas mereka.” Kata Umang.
“Ssst…. Kau dengar itu?” kata Donal kepada Umang.
“Ya aku dengar. Ayo sembunyi!” perintah Umang.
Semakin lama langkah kaki itu semakin mendekat ke arah mereka. Donal bersiap-siap menyergap orang tersebut. Umang memberikan kode dengan jarinya untuk segera menyergap orang tersebut.
“Satu…. Dua…. Tiga…. Sergap! Sergap!” kata Umang pelan.
Dengan sigap Donal menyergap orang itu dari belakang.
“Eh… eh, ada apa ini?” Tanya orang itu panik.
“Eh… kok bapak bisa disini?” Tanya Umang kepada orang itu.
Ternyata orang yang mereka sergap adalah bapak yang pernah memberikan mereka misi dan juga kepingan emas.
“Siapa dia Mang?” Tanya Donal.
“Dia bapak yang waktu itu ngasih kita misi dan emas.” Jawab Umang.
“Oh…” kata Donal, “Maaf pak.”
“Tidak masalah.” Kata bapak itu, “Kenapa kalian bisa disini?”
Kemudian Umang menceritakan yang terjadi pada mereka belakangan ini.
“Oh… saya mengerti!” kata bapak itu, “Saya ke sini bersama 15 orang pejuang saya. Saya belum sempat saat itu memperkenalkan diri. Nama saya Mayor Yohanes Mare. Orang biasa memanggil saya Mayor Yo. Dan ini adalah pasukan saya.”
Seketika itu keluar lah 15 orang dari balik semak-semak dan pepohonan.
“Dan kebetulan sekali kita bertemu disini.” Kata Mayor Yo, “Tadi saya baru dari markas Kolonel Frans Rakut yang ada dibawah, tapi saya lihat sudah kosong dan banyak bekas tembakan, apa kalian tahu dimana markas Kolonel Frans?”
“Kebetulan sekali Mayor, kami mau keatas meminta bantuan beliau. Tapi…” kata Umang.
“Kau tenang saja, aku sudah kenal lama dengan beliau. Dia pasti percaya dengan ku.” Kata Mayor Yo.
Perjalanan kami lanjutkan ke markas Kolonel Frans Rakut.
“Kolonel, ada pejuang lain datang!” kata salah seorang geriliyawan.
“Wah… sahabat lama ku.” Sambut Kolonel Frans, “Tenang semua, mereka di pihak kita. Turunkan senjata kalian.”
“Tapi kolonel, kenapa dua penghianat itu bersama dengan mereka?” teriak seorang geriliyawan.
“Tenang semua, saya akan jelaskan.” Timpal Mayor Yo.
Suasana seketika hening saat Mayor Yo menjelaskan semuanya ke mereka.
“Mayor, sebentar dulu. Sepertinya ada yang mencoba menghubungi lewat radio ku.” Potong Umang.
“Ini saya, komandan pasukan Belanda. Saya tahu kalian lagi mendengarkan saya. Kalau mau ketiga anak ini selamat, serahkan diri kalian beserta Kolonel Frans Rakut tanpa ada kontak senjata. Jika permintaan ini tak di penuhi hingga tengah malam, kalian akan melihat bangkai 3 orang anak ini di markas kalian besok pagi.” Kata komandan pasukan Belanda dari sana.
“Kami gak rela kalau kolonel menyerahkan diri begitu saja! Setuju kan?” teriak seorang geriliyawan.
“Setuju! Setuju!” Sambut semua geriliyawan pihak Kolonel Frans.
“Baiklah.” Kata Kolonel Frans, “Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya. Kita tahu hari ini akan terjadi. Saya tetap akan menyerahkan diri. Tapi…. ada semacam istilah yang mengatakan, “Menyerah dengan perlawanan.” Dan kita akan buat itu! Malam ini kita kalahkan anjing-anjing Belanda itu! Kita selamatkan apa yang harus kita selamatkan, kita usir mereka dari tanah kita. Merdeka!”
“MERDEKA!!!” teriak semua orang di tempat itu.
Semua orang di tempat itu masing-masing memegang senjata beserta amunisi. Kami dibagi kedalam 3 kelompok. Kelompok pertama sebagai pengintai, kedua sebagai penembak runduk, dan yang ketiga sebagai pengeksekusi. Donal dan Umang bersama dengan Kolonel Frans Rakut menuju ke ruang komando. Sementara kelompok pengintai diam-diam juga meletakkan dinamit di markas tersebut. Terlihat penjagaan malam itu ketat sekali. Namun dengan diam namun pasti, setiap penjaga di lumpuhkan satu persatu.
“Hei… Anjing Belanda! Keluar kau.” Teriak Kolonel Frans Rakut.
Dari dalam ruangan tersebut keluarlah sang komandan beserta kila, 5 prajuritnya dan Aldo, Husin, dan Zainal.
“Hei! Kau apakan teman-teman kami?” Tanya Donal kesal.
“Kami hanya menyuruh mereka berkicau. Patut diberikan penghargaan teman-temanmu. Mereka kuat tutup mulut walau sudah sebabak-belur ini.” Kata sang komandan.
“Memang kau anjing-anjing Belanda! Sekarang lepaskan teman kami!” perintah Donal.
“Tidak secepat itu! Jatuhkan dulu senjata kalian, dan serahkan Kolonel Frans Rakut kepada kami, maka kalian boleh pergi.” Kata sang komandan
“Tidak! Serahkan dulu teman-teman kami!” balas Umang.
“Tenang Mang, kita ikuti mereka.” Kata Kolonel Frans, “Baikalah, secara bersama-sama. Dalam hitungan. Satu.... dua…. TIGA!!! (Kolonel berteriak dengan keras pada hitungan terakhir)”
Seketika itu terdengar suara ledakan beruntun dari belakang mereka dan teriakan para geriliyawan, “MERDEKA!!!”
Suara desingan peluru dan teriakan dari pihak Belanda terdengar dimana-mana. Sementara Donal melepaskan ikatan tanganku dan kedua sahabatku. “Umang, kila kabur!” teriakku. Umang langsung berlutut dengan satu kaki, membidik kaki kila, dan kila pun terjatuh ke tanah.
“Tembakan yang bagus Mang!” puji Zainal.
Tak berapa lama tempat itu berhasil kami kuasai. Semua korban dari Belanda baik yang selamat ataupun sudah meninggal kami kumpulkan. Gudang senjata dan amunisi kami amankan. Tak lupa semua tentara kami lucuti senjatanya termasuk sang komandan.
“Selanjutnya apa Kolonel?” Tanya Umang.
“Kita akan jadikan tempat ini markas kita. Kita akan rebut markas Belanda yang dibawah. Kita pertahankan tempat ini dan kampung ini mati-matian.” Kata Kolonel Frans.
“Tapi sebelumnya, saya sebagai keponakan dari penghianat ini, saya mau bertanya kepadanya.” Potong ku, “Kenapa kau berkhianat kepada bangsamu sendiri?”
“Awalnya kila gak mau berkhianat, tapi karena dijanjikan tanah, harta, dan kekuasaan, kila tergiur. Dan semua yang kalian lihat mulai dari rumah terbakar sampai adegan penyelamatan beberapa hari yang lalu, merupakan settingan untuk menangkap kalian berlima.” Jawab kila.
“Oh…. Jadi gara-gara harta dan kekuasaan kau rela mengorbankan keponakanmu sendiri?” kata Zainal, “Memang dasar orang tua keparat kau!” Zainal sembari memukul wajah kila dengan belakang senjatanya.
“Sudah-sudah. Semua orang Belanda dan yang berkhianat hari ini akan menjadi tawanan kita hingga bangsa ini merdeka. MERDEKA!” kata Kolonel Frans.
“MERDEKA!!!” sambut kami semua.
Semenjak saat itu kami dikenal oleh anjing-anjing Belanda itu sebagai Divisi 5 Gerakan Bawah Tanah. Walau kami tak bergerak di bawah tanah, tapi kami cukup cekatan dan memumpuni mengalahkan orang-orang Belanda itu. Terbukti dengan semakin banyaknya anggota yang kami rekrut dan kemenangan-kemenangan yang kami raih. 
Dalam tempo setahun, daerah kami terbebas dari Belanda. Kami mengamankan pintu-pintu masuk ke daerah kami. Dan saat itu, aku dan ke 4 sahabatku mendapat kenaikan pangkat menjadi kapten. Tapi kini, aku dan mereka berempat sudah merasakan manisnya kemerdekaan dan pangkat kami sekarang adalah Mayor Jendral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan komentar anda :D