“Mang,
kok lama kali orang itu?” Tanya Donal.
“Sabarlah
sebentar. Bawaan mereka banyak.” Jawab Umang.
Umang
dan Donal menanti dengan rasa was-was dibalik semak-semak.
“Cobalah
kau hubungi mereka. Gak enak perasaanku sekarang.” Pinta Donal.
“Tak
perlu! Nanti mereka bisa ketahuan.” Balas Umang.
“Beep….
Beep…. Beep…” terdengar suara dari radio.
“Anjing!
Mereka ketahuan.” Kata Donal.
“Sialan!”
kata Umang, “Kita cari tempat tinggi, terus kita pantau kemana mereka dibawa.”
Umang
dan Donal bergerak naik ke bukit guna mencari tempat yang tepat untuk memantau.
“Mang,
kau tengok itu! Mereka dibawa ke markas komando.” Kata Donal.
“Oke,
kita gak mungkin ngebantu mereka sekarang.” Kata Umang, “Yang kita punya cuma 2
pucuk senjata, beberapa amunisi, dan 1 radio komunikasi. Sementara bahan
peledak ada di mereka.”
“Jadi
rencana mu apa?” Tanya Donal.
“Kita
minta bantuan ke Kolonel Frans.” Jawab Umang.
“Gila
kau Mang!” kata Donal, “Aku gak mau dituduh apa-apa lagi sama mereka.”
“Kau
tenang dulu dan ikut aku!” Perintah Umang.
Donal
pun mengikuti Umang naik ke bukit menuju markas Kolonel Frans Rakut. Perjalanan
dari tempat mereka tadi ke markas Kolonel Frans membutuhkan waktu 5 jam.
“Tak
lama lagi kita sampai di markas mereka.” Kata Umang.
“Ssst….
Kau dengar itu?” kata Donal kepada Umang.
“Ya
aku dengar. Ayo sembunyi!” perintah Umang.
Semakin
lama langkah kaki itu semakin mendekat ke arah mereka. Donal bersiap-siap
menyergap orang tersebut. Umang memberikan kode dengan jarinya untuk segera
menyergap orang tersebut.
“Satu….
Dua…. Tiga…. Sergap! Sergap!” kata Umang pelan.
Dengan
sigap Donal menyergap orang itu dari belakang.
“Eh…
eh, ada apa ini?” Tanya orang itu panik.
“Eh…
kok bapak bisa disini?” Tanya Umang kepada orang itu.
Ternyata
orang yang mereka sergap adalah bapak yang pernah memberikan mereka misi dan
juga kepingan emas.
“Siapa
dia Mang?” Tanya Donal.
“Dia
bapak yang waktu itu ngasih kita misi dan emas.” Jawab Umang.
“Oh…”
kata Donal, “Maaf pak.”
“Tidak
masalah.” Kata bapak itu, “Kenapa kalian bisa disini?”
Kemudian
Umang menceritakan yang terjadi pada mereka belakangan ini.
“Oh…
saya mengerti!” kata bapak itu, “Saya ke sini bersama 15 orang pejuang saya.
Saya belum sempat saat itu memperkenalkan diri. Nama saya Mayor Yohanes Mare.
Orang biasa memanggil saya Mayor Yo. Dan ini adalah pasukan saya.”
Seketika
itu keluar lah 15 orang dari balik semak-semak dan pepohonan.
“Dan
kebetulan sekali kita bertemu disini.” Kata Mayor Yo, “Tadi saya baru dari
markas Kolonel Frans Rakut yang ada dibawah, tapi saya lihat sudah kosong dan
banyak bekas tembakan, apa kalian tahu dimana markas Kolonel Frans?”
“Kebetulan
sekali Mayor, kami mau keatas meminta bantuan beliau. Tapi…” kata Umang.
“Kau
tenang saja, aku sudah kenal lama dengan beliau. Dia pasti percaya dengan ku.”
Kata Mayor Yo.
Perjalanan
kami lanjutkan ke markas Kolonel Frans Rakut.
“Kolonel,
ada pejuang lain datang!” kata salah seorang geriliyawan.
“Wah…
sahabat lama ku.” Sambut Kolonel Frans, “Tenang semua, mereka di pihak kita.
Turunkan senjata kalian.”
“Tapi
kolonel, kenapa dua penghianat itu bersama dengan mereka?” teriak seorang
geriliyawan.
“Tenang
semua, saya akan jelaskan.” Timpal Mayor Yo.
Suasana
seketika hening saat Mayor Yo menjelaskan semuanya ke mereka.
“Mayor,
sebentar dulu. Sepertinya ada yang mencoba menghubungi lewat radio ku.” Potong
Umang.
“Ini
saya, komandan pasukan Belanda. Saya tahu kalian lagi mendengarkan saya. Kalau
mau ketiga anak ini selamat, serahkan diri kalian beserta Kolonel Frans Rakut
tanpa ada kontak senjata. Jika permintaan ini tak di penuhi hingga tengah
malam, kalian akan melihat bangkai 3 orang anak ini di markas kalian besok
pagi.” Kata komandan pasukan Belanda dari sana.
“Kami
gak rela kalau kolonel menyerahkan diri begitu saja! Setuju kan?” teriak
seorang geriliyawan.
“Setuju!
Setuju!” Sambut semua geriliyawan pihak Kolonel Frans.
“Baiklah.”
Kata Kolonel Frans, “Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya. Kita tahu
hari ini akan terjadi. Saya tetap akan menyerahkan diri. Tapi…. ada semacam
istilah yang mengatakan, “Menyerah dengan perlawanan.” Dan kita akan buat itu!
Malam ini kita kalahkan anjing-anjing Belanda itu! Kita selamatkan apa yang
harus kita selamatkan, kita usir mereka dari tanah kita. Merdeka!”
“MERDEKA!!!”
teriak semua orang di tempat itu.
Semua
orang di tempat itu masing-masing memegang senjata beserta amunisi. Kami dibagi
kedalam 3 kelompok. Kelompok pertama sebagai pengintai, kedua sebagai penembak
runduk, dan yang ketiga sebagai pengeksekusi. Donal dan Umang bersama dengan
Kolonel Frans Rakut menuju ke ruang komando. Sementara kelompok pengintai
diam-diam juga meletakkan dinamit di markas tersebut. Terlihat penjagaan malam
itu ketat sekali. Namun dengan diam namun pasti, setiap penjaga di lumpuhkan
satu persatu.
“Hei…
Anjing Belanda! Keluar kau.” Teriak Kolonel Frans Rakut.
Dari
dalam ruangan tersebut keluarlah sang komandan beserta kila, 5 prajuritnya dan
Aldo, Husin, dan Zainal.
“Hei!
Kau apakan teman-teman kami?” Tanya Donal kesal.
“Kami
hanya menyuruh mereka berkicau. Patut diberikan penghargaan teman-temanmu.
Mereka kuat tutup mulut walau sudah sebabak-belur ini.” Kata sang komandan.
“Memang
kau anjing-anjing Belanda! Sekarang lepaskan teman kami!” perintah Donal.
“Tidak
secepat itu! Jatuhkan dulu senjata kalian, dan serahkan Kolonel Frans Rakut
kepada kami, maka kalian boleh pergi.” Kata sang komandan
“Tidak!
Serahkan dulu teman-teman kami!” balas Umang.
“Tenang
Mang, kita ikuti mereka.” Kata Kolonel Frans, “Baikalah, secara bersama-sama.
Dalam hitungan. Satu.... dua…. TIGA!!! (Kolonel berteriak dengan keras pada
hitungan terakhir)”
Seketika
itu terdengar suara ledakan beruntun dari belakang mereka dan teriakan para
geriliyawan, “MERDEKA!!!”
Suara
desingan peluru dan teriakan dari pihak Belanda terdengar dimana-mana.
Sementara Donal melepaskan ikatan tanganku dan kedua sahabatku. “Umang, kila
kabur!” teriakku. Umang langsung berlutut dengan satu kaki, membidik kaki kila,
dan kila pun terjatuh ke tanah.
“Tembakan
yang bagus Mang!” puji Zainal.
Tak
berapa lama tempat itu berhasil kami kuasai. Semua korban dari Belanda baik
yang selamat ataupun sudah meninggal kami kumpulkan. Gudang senjata dan amunisi
kami amankan. Tak lupa semua tentara kami lucuti senjatanya termasuk sang
komandan.
“Selanjutnya
apa Kolonel?” Tanya Umang.
“Kita
akan jadikan tempat ini markas kita. Kita akan rebut markas Belanda yang
dibawah. Kita pertahankan tempat ini dan kampung ini mati-matian.” Kata Kolonel
Frans.
“Tapi
sebelumnya, saya sebagai keponakan dari penghianat ini, saya mau bertanya
kepadanya.” Potong ku, “Kenapa kau berkhianat kepada bangsamu sendiri?”
“Awalnya
kila gak mau berkhianat, tapi karena dijanjikan tanah, harta, dan kekuasaan,
kila tergiur. Dan semua yang kalian lihat mulai dari rumah terbakar sampai adegan
penyelamatan beberapa hari yang lalu, merupakan settingan untuk menangkap
kalian berlima.” Jawab kila.
“Oh….
Jadi gara-gara harta dan kekuasaan kau rela mengorbankan keponakanmu sendiri?”
kata Zainal, “Memang dasar orang tua keparat kau!” Zainal sembari memukul wajah
kila dengan belakang senjatanya.
“Sudah-sudah.
Semua orang Belanda dan yang berkhianat hari ini akan menjadi tawanan kita
hingga bangsa ini merdeka. MERDEKA!” kata Kolonel Frans.
“MERDEKA!!!”
sambut kami semua.
Semenjak
saat itu kami dikenal oleh anjing-anjing Belanda itu sebagai Divisi 5 Gerakan
Bawah Tanah. Walau kami tak bergerak di bawah tanah, tapi kami cukup cekatan
dan memumpuni mengalahkan orang-orang Belanda itu. Terbukti dengan semakin
banyaknya anggota yang kami rekrut dan kemenangan-kemenangan yang kami raih.
Dalam
tempo setahun, daerah kami terbebas dari Belanda. Kami mengamankan pintu-pintu
masuk ke daerah kami. Dan saat itu, aku dan ke 4 sahabatku mendapat kenaikan
pangkat menjadi kapten. Tapi kini, aku dan mereka berempat sudah merasakan manisnya
kemerdekaan dan pangkat kami sekarang adalah Mayor Jendral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan komentar anda :D